Assalamualaikum .. MCM Memuat Beberapa Artikel tentang seorang Muallaf di Seluruh Dunia Mudah- Mudahan Member semua dapat terkesan dengan Bacaan Artikel ini Wassalamualaikum....
Reporter Yahudi Kelas Dunia Stephen Schwartz, Menemukan Islam Saat di Sarajevo
Pria
yang lahir di Columbus, Ohio ini dikenal sebagai wartawan dan kerap
mengkritik Bush. Kini ia menjalani Islam dan rajin shalat.
Stephen Schwartz lahir di Columbus, Ohio
tahun 1948. Lebih dari separuh hidupnya dihabiskan dengan berkarir
sebagai wartawan dan penulis. Stephen kenal Islam dan bersyahadah ketika
bertugas sebagai reporter di Bosnia.
Setelah memeluk Islam, mantan wartawan senior San Francisco Chronicle ini kerap mengkritik pemerintahan Bush yang sering mengidentikkan teroris dengan Islam.
Artikel-artikel kontroversialnya muncul di sejumlah koran ternama seperti The NewYork Times, The Wall Street Journal, The Los Angeles Times dan The Toronto Globe and Mail.
Stephen juga kontributor tetap untuk The Weekly Standard, The New York Post dan Reforma di Mexico City.
Berikut kisah pria yang mengaku tertarik dengan kehidupan sufi dalam
Islam dan ketika di Bosnia aktif mengikuti kegiatan tarekat
Naqshabandiah. Inilah beritanya.
Stephen Schwartz memeluk Islam di Bosnia
pada 1997 atau di usianya yang ke-49. Sebelumnya, lebih dari 30 tahun
lamanya, dia melakukan studi dan menimba berbagai pengalaman hidup serta
mempelajari sejarah beberapa agama samawi. Bagaimana ceritanya hingga
dia terkesan dengan agama Islam?
“Aku tertarik dengan Islam sejak tahun
1990 saat berkunjung ke Bosnia untuk melakukan studi tentang sejarah
Yahudi di Balkan. Aku butuh data itu untuk mengisi kolom rutin di jurnal
Jewish Forward. Nah dalam penelitian itu, aku sempat menjalin kontak dengan tokoh-tokoh Islam Balkan,” kisah Stephen.
Jika menilik sejarah hidupnya, dia
mengaku berasal dari keluarga “agamais”. “Aku dibesarkan dalam
lingkungan yang benar-benar ekstrem bagi kebanyakan orang Amerika.
Ayahku seorang Yahudi yang taat.
Sementara ibuku adalah anak dari seorang tokoh kelompok Protestan
fundamentalis. Dia sangat paham dengan Bibel, juga Kitab Perjanjian Lama
dan Baru,” kata pria yang menambah Suleiman Ahmad di depan namanya
selepas memeluk Islam.
Stephen sendiri mengaku, pertama kali
bersentuhan dengan agama adalah tatkala ikut kegiatan gereja Katolik.
Walau saat itu belum memutuskan ikut ajaran itu, dia sempat tertarik
dengan sejumlah literatur tentang kebatinan dalam ajaran Katolik.
Keingintahuannya membuat dia melakukan sejumlah studi dan riset mendalam
hingga ke negeri matador Spanyol.
Riset di Spanyol
Di awal penelitiannya, Stephen mengamati
bahwa di balik kejayaan Katolik Spanyol ternyata terdapat pengaruh kuat
sejarah Islam kala berkuasa di Spanyol. Dia mengaku takjub dan
terinspirasi dengan agama Islam yang masih bertahan dalam sejumlah
tradisi di sana.
“Sebagai seorang penulis, aku meneliti
fenomena ini selama bertahun-tahun. Mula-mula kupelajari sejarah itu
melalui aneka karya sastra masa lampau yang menunjukkan pengaruh Islam
di kawasan Iberia itu,” ungkap dia.
Awal 1979, dia mulai mempelajari
Kabbalah, sebuah tradisi mistik bangsa Yahudi. “Nah, menariknya di dalam
Kabbalah itu juga kudapati adanya pengaruh Islam,” ujar Stephen yang
meneliti tentang Kabbalah selama hampir 20 tahun lamanya.
Kenal Islam di Bosnia
Selama meneliti Kabbalah, dia sempat
melakukan perjalanan ke Bosnia dalam kapasitasnya sebagai seorang
reporter. “Tahun 1990 untuk pertama kalinya aku bersentuhan secara
langsung dengan Islam di Bosnia dan untuk pertama kalinya pula aku
mengunjungi sebuah mesjid di ibukota Sarajevo,” kata dia.
“Perlahan, aku melihat Islamlah yang
mampu menawarkan jalan “terdekat” untuk mendapatkan kasih sayang Allah,”
ujar pria yang juga aktif mengikuti tarekat Naqshabandiah kala
di Bosnia. Dia bertemu dengan Syekh Hisham, seorang guru tarekat
Naqshabandi di sana. Hatinya benar-benar terkesan hingga dalam hitungan
minggu diapun bersyahadah di negeri Balkan itu. “Aku bangga jadi orang
Islam,” aku dia.
Di Sarajevo, Stephen menemukan banyak hal
yang mengesankan hatinya. “Kutemukan sebuah pos terdepan Islam di
Eropa, saat dimana aku tidak merasa sebagai seorang asing di sana. Saat
dimana aku secara gampang bisa berjumpa dan bergaul langsung dengan
orang-orang Islam yang begitu ramah, demikian pula kalangan terdidiknya.
Aku menemukan puisi dan gubahan musik yang begitu indah, yang
mengekspresikan nilai-nilai keagungan dan kedamaian dalam Islam,” ungkap
dia dipenuhi rasa kagum.
“Aku
telah temukan sebuah “taman tua” yang indah,” ujar Stephen mengutip
salah satu bait lagu Bosnia yang sangat terkenal yang berkisah tentang
masa jaya Kekhalifahan Usmani di Balkan dan kontribusinya terhadap
budaya Islam.
Stephen juga membaca beberapa bagian dari Al-Quran dan mengunjungi monumen-monumen Islam selama kunjungannya di Balkan.
“Aku layaknya kembali ke taman itu dan
akhirnya masuk ke dalamnya,” ujar dia memberi ibarat. Ya, akhirnya dia
memang memutuskan masuk Islam kala di Bosnia.
Takut timbul konflik
Sejak menerima Islam, Stephen sangat
berhati-hati sekali dalam mengirim informasi keislamannya, baik itu
kepada keluarga, teman-temannya hingga para tetangga dekatnya.
“Aku tidak mau sembarangan memberikan
info ini, takut nanti timbul konflik dan kontroversi.. Aku juga tidak
mau pengalaman ini dilihat atau dicap sebagai sesuatu yang bodoh atau
picik. Ini bukan menyangkut diriku pribadi, tapi ini berkaitan dengan
Allah. Aku ingin proses keislaman ini berada di jalan yang wajar. Hal
ini semata-mata untuk kebaikan umat Islam dan juga bagi terbentuknya
hubungan persaudaraan Islam di dalam ikatan kalimat la ilaha illallah,” tukas dia.
“Aku amati, ada kalanya kalangan
non-muslim melihatku sebagai seorang muallaf baru yang terpengaruh oleh
kehidupan di Balkan. Tapi aku segera meluruskan pendapat ini seraya
menyebutkan bahwa aku suka Islam bukan karena terlibat politik atau
alasan kemanusiaan, tapi murni semata-mata karena pesan indah yang
dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah,” kata dia lagi.
Damai dalam Islam
“Seperti telah kusebutkan di awal, aku
menemukan bahwa hal-hal positif dalam agama samawi Yahudi dan Nasrani.
Nilai-nilai positif itu terefleksikan dalam ajaran Islam. Jadi, Islam
datang menyempurnakan agama terdahulu,” kata Stephen.
“Aku sangat
yakin, tanpa adanya toleransi orang-orang Arab Spanyol dulu, terutama
di saat Kekhalifahan Usmani masih berjaya, maka bangsa Yahudi telah lama
hilang dari permukaan bumi ini. Halnya agama Yahudi hari ini, sangatlah
jauh berbeda dengan ajaran mereka saat masih hidup berdampingan dengan
orang-orang Islam dahulu,” tegas Stephen Schwartz.
“Setelah memeluk Islam, hal yang sangat
berkesan bagiku adalah adanya kedamaian hati disertai kehadiran Allah di
dalam setiap hal. Muncul perasaan lembut, sopan santun, sederhana dan
rasa ikhlas. Hidupku jadi mudah. Bahkan di saat aku ada masalah atau
ujian dalam hidup ini,” tutur Stephen yang sangat yakin jika nilai-nilai
Islam itu akan mampu menyelesaikan aneka permasalahan di Amerika,
terutama perkara krisis moral.
Kritik Bush
Begitulah. Saat ini Stephen Schwartz
dipercaya sebagai Direktur Eksekutif Center for Islamic Pluralism yang
didirikan pada 25 Maret 2005 dan berpusat di Washington DC. Dia juga
penulis buku best seller The Two Faces of Islam: Saudi Fundamentalism and Its Role In Terrorism.
Buku itu telah diterjemahkan ke dalam
beberapa bahasa. Dalam buku tersebut dia mengungkapkan rasa tak
setujunya dengan cap Islam teroris dan mengkritik secara terbuka
pemerintahan Bush yang selalu mengidentikkan teroris dengan Arab. Akibat
kritik tajamnya itu Stephen pun lantas dipecat dari posisinya sebagai
penulis berita di media bergengsi Voice of America.
Begitupun, dalam beberapa hal, Stephen
mengaku sangat sedih kala melihat konflik di Timur Tengah. “Aku sering
memimpikan adanya kedamaian dan persahabatan antara Israel dan Arab.
Persis sepertimana di saat orang Yahudi bisa hidup damai di masa
kepemimpinan orang Islam,” kata pria yang dikala mudanya pernah terlibat
dalam kelompok radikal sayap kiri itu.Kisah Mualaf Seorang Wanita Karena Celana Dalam
Mungkin kedengaran aneh dan janggal. Hidayah memang bisa datang kapan saja dan pada siapa saja. Selama ini mungkin kita lebih sering mendengar masuk islamnya seorang non muslim kedalam islam di sebabkan hal-hal luar biasa dan penting. Seperti dokter Miller seorang penginjil Kanada yang masuk islam setelah menjumpai I’jaz Qur’an dari berbagai segi.Tapi yang ini benar-benar tidak biasa. Ya, masuk islam gara-gara celana dalam!
Fakta ini dikisahkan Doktor Sholeh Pengajar di sebuah perguruan
Tinggi Islam di Saudi, saat ditugaskan ke Inggris. Ada seorang perempuan
tua yang biasa mencuci pakaian para mahasiswa Inggris termasuk pakaian
dalam mereka.
Tidak ada sisi menarik pada wanita ini, tua renta, pegawai rendahan
dan hidup sendirian. Setiap kali bertemu dia selalu membawa kantong
plastik berukuran besar yang terisi penuh dengan pakaian kotor. Untuk
pekerjaan kasar seperti ini penghuni rumah jompo ini terbilang cekatan
di usianya yang sudah terbilang uzur.Di Inggris, masyarakat yang
memiliki anggota keluarga lansia biasanya cenderung memasukkan mereka ke
panti jompo. Dan tentu saja keadaan miris ini harus diterima kebanyakan
para orangtua dengan besar hati agar tidak membebani anak mereka. Namun
di tengah kondisi seperti itu sepertinya tidak membuat kecil hati tokoh
kita ini yang justeru begitu getol mengisi hari-harinya bergelut dengan
cucian kotor.
Wanita baya itu lebih suka dipanggil auntie atau bibi. Dia sudah
bekerja sebagai petugas laundry hampir separuh usianya. Beruntung
baginya masih ada instansi yang bersedia mempekerjakan para manula.
“Aku merasa dihargai meski sudah tua. Lagipula, orang-orang seperti
aku ini sudah tidak ada yang mengurus, kalau bukan diri sendiri.
Anak-anakku sudah menikah dan tinggal bersama keluarga mereka
masing-masing. Suamiku sudah meninggal. Walaupun anak-anak suka
menjenguk, tapi aku tetap ingin punya kegiatan sendiri untuk mengisi
masa tua,” ujarnya
“Bukan untuk kerja yang berat memang, tapi setidaknya, selain
menambah penghasilan juga mengisi hari tua. Mungkin itu lebih baik
daripada harus tinggal diam di panti jompo.” Ujarnya lagi dengan wajah
sendu.
“Sedih juga kalau harus tinggal sendirian. Seperti seorang temanku.
Dia juga dulu bekerja sebagai petugas laundry bersamaku. Sampai
akhirnya, anak perempuan satu-satunya menikah. Namun setelah menikah,
anak perempuannya itu tidak pernah menghubunginya,” bibi berkisah.
Bagi sang Bibi profesinya sebagai petugas laundry justeru
membuatnya lebih dekat dengan sepak terjang, liku-liku penghuni asrama
yang rata-rata adalah mahasiswa dari luar Inggris. Sang Bibi paham betul
kebiasaan para mahasiswa yang tinggal di asrama ini selain belajar
sehari-hari, adalah pergi clubbing sekedar “having fun”. Banyak asrama
memiliki bar, café, ruang duduk untuk menonton televisi, ruang musik dan
fasilitas olahraga sendiri.
Dan salah satu sisi negatif pergaulan dengan orang Inggris adalah
bila mereka sudah dekat botol miras, biasalah mereka sampai benar-benar
mabuk. Dan dapat dibayangkan kekacauan yang terjadi. Muntah merata di
sebarang tempat, kencing dalam celana dan sebagainya. Inilah perbuatan
paling bodoh yang pernah dilakukan oleh manusia sejak terciptanya
minuman beralkohol. Bukan saja menghilangkan akal sehat, tetapi juga si
pemabuk akan merasa kelelahan dan sakit kepala yang teramat sangat
(hangover).
Saat para penghuni asrama masih dibuai mimpi karena kelelahan habis
clubbing semalaman suntuk. Tinggalah sang Bibi memunguti pakaian kotor
itu setiap hari. Dan terkadang harus diangkut dari kamar, jauh sebelum
mereka bangun dari tidur. Kemudian disortir dengan teliti satu persatu
berdasarkan jenis bahan, ukuran, warna dan yang lebih spesifik lagi
dipisahkankannya pakaian dalam dari yang lain. Begitu pekerjaan rutin
itu dilakukan dengan penuh dedikasi tinggi walau diujung usianya yang
semakin menua.
Waktu terus berjalan, sementara sang Bibi tanpa putus asa terus
bergelut dengan ‘dunia kotor’nya. Idealnya di penghujung usianya itu
seharusnya masa bagi seseorang menuai hasil kerja payahnya di masa muda.
Namun situasilah yang menyebabkan dia harus menanggung berbagai
persoalan hidup, maka sungguh itu merupakan masa tua yang tidak
membahagiakan. Di dalam kondisi yang sudah tidak mampu banyak berbuat,
dia justru dituntut harus banyak berbuat. Dalam kondisi produktivitas
menurun ia justru dituntut untuk berproduksi tinggi.
Entah sampai kapan dia harus melakoni pekerjaan itu. Maka sampailah
suatu saat asramanya kedatangan penghuni baru yaitu beberapa mahasiswa
muslim dari Timur Tengah yang mendapat tugas belajar dari negaranya.
Mereka sudah terdaftar akan menempati salah satu kamar di asrama tempat
sang Bibi bekerja.
Bagi kebanyakan pelajar timur tengah sangat langka memilih tinggal
di asrama. Mereka biasanya membeli rumah atau flat yang sudah
disesuaikan untuk menampung kelompok kecil siswa, pasangan atau
keluarga. Ada juga beberapa pemilik tempat perorangan mengijinkan
rumah-rumah mereka dikelola dan disewakan.
Tinggal di asrama merupakan cara terbaik untuk bertemu orang-orang
baru dan menjalin persahabatan yang langgeng. Inilah salah satu
pertimbangan mereka memilih tinggal di asrama. Kesadaran inilah yang
menepis kekhawatiran akan terjadinya gegar budaya atau “cultural shock“.
Hidup dalam komunitas non muslimlah justeru kita dituntut untuk
membuktikan nilai-nilai Islam yang tinggi ini sebagai sebuah solusi bagi
manusia. Tentunya ini adalah pekerjaan dakwah yang merupakan
tanggungjawab setiap muslim dimana saja berada. Dengan tetap menjaga
keistimewaan kita sebagai muslim yaitu kesalehan.
Hari-hari terus berlalu, tampaknya si Bibi ini betul-betul
perhatian dengan apa yang dicucinya. Sampai-sampai dia tahu ini pakaian
si A, ini si B dan seterusya. Tidak terkecuali dengan pakaian kotor
milik mahasiswa dari Timur Tengah tadi. Namun saat dilakukan sortir
pakaian dalam, si Bibi merasa ada sesuatu yang tidak biasa, karena dari
semua pakaian yang dicucinya, hanya pakaian muslim arab saja yang
terlihat tidak kotor, tidak berbau, tidak kumuh dan tidak banyak noda
dipakaiannya.
Kejadian langka ini semakin mendorong rasa penasaran si Bibi.
Lagi-lagi pencuci pakaian di asrama ini selalu merasa aneh saat mencuci
celana dalam mereka. Berbeda dengan yang lain, kedua pakaian dalam
mereka selalu tak berbau.
Maka masih dalam keadaan penasaran, si Bibi memutuskan bertanya
langsung dengan ‘pemilik celana dalam’ itu. Saat ditanya kenapa. Dua
orang ini menjawab, ”Kami selalu istinja setiap kali kencing.” Pencuci
baju ini bertanya lagi, ”Apakah itu diajarkan dalam agamamu?”
“Ya!” Jawab dua orang pelajar muslim tadi.
Merasa belum yakin 100 persen dengan jawaban itu, akhirnya si Bibi
datang menemui salah seorang tokoh muslim yaitu Doktor Sholeh– Pengajar
di sebuah perguruan Tinggi Islam di Saudi, saat ditugaskan ke Inggris–
Wanita tua ini menceritakan keheranannya selama bertugas perihal adanya
pakaian dalam yang ‘aneh’.
Ada beberapa pakaian dalam yang tidak berbau seperti kebanyakan
mahasiswa umumnya, apa sebabnya? Maka ustadz ini menceritakan karena
pemiliknya adalah muslim, agama kami mengajarkan bersuci setiap selesai
buang air kecil maupun buang air besar, tidak seperti mereka yang tidak
perhatian dalam masalah seperti ini.
Betapa terkesan ibu tua ini jika untuk hal yang kecil saja Islam
memperhatikan apatah lagi untuk hal yang besar, pikir pencuci baju itu.
Dan tidak lama kemudian ia mengikrarkan syahadat, masuk Islam dengan
perantaraan pakaian dalam!
Tidak disangka ternyata diam-diam si tukang cuci masuk Islam,
gemparlah para mahasiswa yang tinggal di asrama tersebut, yang
kebanyakan adalah non muslim. Mereka berusaha ingin tahu sebab musabab
si Bibi masuk islam. Dia menjawab dengan yakin bahwa dirinya sangat
kagum dengan kawan muslim Arab ini, karena dari semua pakaian yang
dicucinya, hanya pakaiannya sajalah yang terlihat tidak macam-macam. Dan
dengan hidayah Allah Swt, dirinya dapat membedakan antara pakaian
seorang muslim dan non muslim.
Hidayah memang bisa datang kapan saja dan pada siapa saja. Selama
ini mungkin kita lebih sering mendengar masuk Islamnya seorang non
muslim ke dalam Islam lebih disebabkan pada hal-hal luar biasa dan
penting. Tapi yang ini benar-benar tidak biasa. Mendapat hidayah di
penghujung usia gara-gara pakaian dalam!Sungguh takdir Allah benar-benar
telah jatuh berketepatan dengan kegigihannya selama ini mengisi
hari-hari di sisa hidupnya sebagai petugas laundry. Disinilah letak
rahasia nikmat Allah yang agung yang mempertemukan antara takdirNya dan
ikhtiar manusia. Sungguh Allah tidak pernah menyia-nyiakan amal seorang
hambaNya.
Bocah TK Amerika Menuntun Gurunya Menjadi Mualaf
Dan tentunya dengan izin Allah kisah-kisah kehidupan para sahabat begitu berkesan dalam hati si anak ini. Si anak waktu itu masih duduk di bangku setingkat TK kalau di negara kita.
Suatu hari guru pengajar, yang notabene non muslim bertanya pada semua murid-muridnya, "Apa cita-cita kalian kalau sudah besar nanti?"
Maka setiap murid menjawab sesuai dengan kefahamannya masing-masing.
Anak 1 berkata, "Saya ingin menjadi pilot"
Anak 2 berkata, "Kalau saya ingin jadi dokter"
Anak 3 menyahut, "Aku pingin jadi superman! Kuat dan bisa terbang."
Dan seterusnya hingga tiba pada anak muslim ini.
Dia menjawab, "Aku ingin seperti sahabat!" (sahabat Nabi SAW.--red)
Maka, guru yang bertanya bingung, apa maksudnya kata sahabat, sebuah istilah yang asing. Si guru berfikir, mungkin anak ini belum mendengar atau memahami pertanyaan guru dengan jelas, maka guru mengulangi pertanyaannya lagi.
"Nanti kalau sudah besar ingin jadi apa?"
Si Anak muslim menjawab lagi, "Bu Guru, Saya ingin seperti sahabat."
Si Guru mulai kebingungan dan menanggapi dengan serius problem dari anak ini... maka dengan segera seusai mengajar di kelas si guru menelpon orang tua si anak ini, dan minta izin berkunjung ke rumahnya untuk mendiskusikan perihal tanya jawab tadi di kelas.
Akhirnya si Guru sampai di rumah keluarga anak muslim ini. Maka Guru tersebut dilayani oleh si Ibu anak muslim ini. Si guru menanyakan perihal pertanyaan cita-cita pada muridnya, tapi kok si anak ini menjawabnya dengan istilah "sahabat", dan menanyakannya pada ibu si anak ini.
Sang Ibu dengan hikmah menerangkan maksud dari sahabat, sampai menyampaikan perkara Islam, manfaat Islam, dsb. Maka guru non muslim yang semula terheran-heran jadi terkesan, begitu indahnya kehidupan Islam yang diamalkan para sahabat Nabi SAW. Maka si Guru ini langsung bersyahadat saat itu juga. Allahu Akbar.
Peter Gould Mualaf Yang Berdakwah Lewat Seni Digital
Peter Gould lahir
di Sydney, Australia dan menetap di kota itu selama hampir 29 tahun.
Minatnya pada dunia seni, khususnya disain grafis, membuatnya menjadi
salah seorang seniman disain grafis dan digital level internasional.
Klien-kliennya adalah perusahaan-perusahaan besar dan orang-orang
terkenal dari seluruh dunia, seperti Yusuf Islam, Sami Yusuf dan Zaytuna
College.
Tidak cuma itu, Peter juga sedang
membangun usaha busana muslim kontemporer, menerbitkan buku untuk
anak-anak dan menjadi konsultan disain bagi kliennya dari berbagai
negara. Tapi, yang membanggakan adalah Peter seorang muslim.
Ia mulai belajar Islam pada tahun 2002,
ketika ia mulai sering bepergian ke negara-negara muslim. “Saya sangat
terinspirasi dengan kota-kota tua seperti Granada, Fes dan Damaskus.
Pengalaman itu memperkaya batin saya dan membuka cakrawala bagi dunia
kreativitas saya, Alhamdulillah,” kata Peter.
Ia mengungkapkan, “Ketika berkunjung dan
belajar di negara-negara Timur Tengah, saya jatuh cinta dengan
elemen-elemen disain dan tradisinya yang artistik, yang dibangun sejak
berabad-abad lalu. Saya memotret banyak hal dan berusaha untuk menyerap
detil-detilnya–kaligrafi yang luar biasa, kubah-kubah, ubin, lengkungan
dan warna-warna yang cerah– benar-benar mengagumkan dan inspiratif.”
“Saya terdorong untuk memasukkan semua
yang saya lihat ke dalam pekerjaan saya dan mengkombinasikannya dengan
proyek-proyek disain grafis dan karya seni yang saya buat,” sambung
Peter.
Ia memuji karya seni islami yang
menurutnya memiliki spektrum yang sangat kaya. Peter sangat mengagumi
hasil kaligrafi dan disain-disain masjid dari tradisi Cina. “Berbeda
sekali dengan Turki dan Andalusia yang bergaya Spanyol. Saya kira, saya
sedang memikirkan sebuah disain bergaya Australia!” ujar Peter antusias.
Kekagumannya pada seni disain islami yang
mendorongnya mempelajari Islam, membuatnya tak lama-lama untuk segera
memeluk Islam. Pada tahun yang sama, tahun 2002, ia memutuskan untuk
mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi seorang muslim.
Ditanya tentang perkembangan seni dan
disain di dunia muslim saat ini, Peter berpendapat bahwa generasi muda
muslim saat ini haus dengan hasil karya seni dan disai kontemporer yang
berkualitas. Masalahnya, tidak banyak generasi muda muslim yang menekuni
atau memilih berprofesi di dunia seni kreatif dibandingkan
profesi-profesi lainnya.
Untuk itu, Peter mendirikan Creativity
& the Spiritual Path, yang mengkordinir berbagai pameran seni karya
seniman muslim yang berbakat. Sejauh ini, ia sudah menggelar berbagai
pameran di San Francisco, Toronto dan di Sydney. Sambutan masyarakat
atas pameran seni itu ternyata luar biasa.
“Saya harap, inisiatif semacam ini akan
membantu seniman-seniman muslim agar mendapatkan rasa percaya diri dan
penghormatan, seperti yang mereka tahu dalam ajaran Islam,” ujar Peter.
Baru-baru ini, Peter meluncurkan proyek
barunya yang diberi nama Artizaan, sebuah merek busana muslim, yang
menggabungkan inspirasi gaya busana islamic Timur dan Barat.
“Disain produk busana muslim ini mewakili
para muslim, seperti saya, bukan mereka yang mengenakan produk CK, Levi
atau Gap. Alhamdulillah, proyek ini bisa terwujud berkat kerjasama
dengan Artizara di Los Angeles, dan seorang teman saya bernama Haji Noor
Deen, ia seniman kaligrafi. Sejauh ini, penerimaan atas produk ini
cukup menggembirakan,” papar Peter.
Sebelum ini, Peter membantu sejumlah
publik figur untuk membuat berbagai disain grafis. Pembuatan sampul
album Sami Yusuf, pembuatan situs Zaytuna College dan dan pembuatan
disain untuk Yusuf Islam adalah proyek yang paling berkesan untuknya.
“Suatu kehormatan buat saya, bekerja
untuk orang-orang inspiratif dan berkontribusi pada perubahan yang
positif bagi dunia,” tandas Peter. Lee Woon Jae, Kiper Muslim dari Negeri Ginseng
Nama Lee Woon-Jae
mungkin terdengar asing di telinga kita. Tapi, tidak demikian bagi
Penggemar sepakbola di Asia, terutama di negara asalnya Korea Selatan
(Korsel). Lee merupakan penjaga gawang kesebelasan nasional Korsel yang
pernah mengikuti beberapa kali Piala Dunia. Terakhir, dia ikut membela
negaranya pada Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan.
Sebelumnya, Lee pernah mengikuti Piala
Dunia 1994, 2002 dan 2006. Pria kelahiran Cheongju, Chungbuk, Korea
Selatan tanggal 26 April 1973 ini memang selalu dipercaya menjadi kiper
nomor satu di timnas Korsel.
Karir internasional Lee dimulai ketika ia
dipercaya untuk memperkuat tim nasional Korsel pada ajang Olympiade
1992 di Barcelona. Karirnya makin meroket ketika dia berhasil
mementahkan tendangan penalti pemain sayap Spanyol, Joaquin, di perempat
final Piala Dunia 2002. Tendangan tersebut merupakan tendangan pinalti
keempat Spanyol.Keberhasilan Lee menahan
bola yang dilayangkan Joaquin ini membuat Korea Selatan lolos ke
semifinal, untuk pertama kalinya dalam sejarah sepakbola mereka. Kala
itu, Korsel mengalahkan La Furia Roja 5-3 dalam drama adu pinalti,
Namun, langkah tim nasional Korsel berhasil dihadang oleh Jerman di
babak semifinal dengan skor 0-1.
Terpikat Islam
Namun tidak banyak yang tahu jika sosok
kiper senior tim nasional Korsel yang mendapat julukan ‘Si Tangan
Laba-Laba’ ini adalah seorang Muslim. Ya, dalam skuad tim negeri ginseng
yang berlaga dalam Piala Dunia 2010 yang baru saja berakhir, Lee boleh
dibilang satu-satunya pemain sepakbola Muslim.
Perihal keislaman Lee ini memang belum
diketahui banyak pihak. Maklum, di Korsel mayoritas penduduknya beragama
Buddha dan Kristen. Jadi, tak mengherankan, jika sosok Lee sebagai
Muslim jarang diekspos. Meskipun begitu, di kalangan muslim pencinta
sepakbola, Lee lumayan dikenal. Lee adalah seorang mualaf sejak tahun
2004. Jadi, ketika dia menyandang predikat Muslim sebagai pemain Korsel
di Piala Dunia adalah sejak Piala Dunia 2006 di Jerman.
Perkenalan Lee dengan Islam terjadi di
tahun 2004 silam. Sebelum memeluk Islam, Lee adalah penganut Kristen
yang terbilang taat. Namun, perkembangan Islam yang cukup pesat di
negaranya membuat dia tertarik dengan ajaran Islam. Lee pun akhirnya
memutuskan menjadi Muslim. Dan, sejak saat itu ia taat menjalankan
shalat dan puasa.
Saat Ramadhan tiba, Lee tetap berpuasa
meski kompetisi sepakbola tengah berlangsung. Setiap harinya, Lee pun
seperti biasa menjalankan shalat lima waktu dan sesekali ke masjid kalau
pulang latihan atau menuju rumahnya. Lelaki berusia 37 tahun ini
menikmati hari-harinya dengan tenang meskipun orang-orang di lingkungan
sekitarnya kebanyakan non-Muslim.
Lee pun merasakan tolerasi beragama di
tim nasional Korea Selatan dan di klubnya sehingga dia tidak merasa
rikuh dengan predikat Muslim yang disandangnya.
Pensiun
Sepanjang karirnya, Lee tercatat sudah
mengikuti empat Piala Dunia, dan ini membuat namanya masuk dalam dafrtar
salah satu dari tujuh pemain Asia yang pernah bermain di empat Piala
Dunia yang berbeda. Namun, pada ajang Piala Dunia 2010 lalu ia hanya
menjadi pemain cadangan. Pelatih kepala Korsel Huh Jung-moo lebih
memercayakan posisi kiper nomor satu kepada Jung Sung-ryong.
Posisinya yang hanya menjadi pemanas
bangku cadangan selama Piala Dunia 2010 lalu ini agaknya yang membuat
Lee akhirnya memutuskan untuk pensiun sebagai pemain nasional.
Pertandingan persahabatan melawan Nigeria pada 11 Agustus 2010 lalu
dengan kemenangan 2-1 menjadi penampilan Lee yang terakhir di tim
nasional Korea Selatan. Lee telah menjadi bagian dari skuad Ksatria
Taeguk dalam 130 pertandingan sejak 1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar